Senin, 02 April 2012

Jaka Selimut: Jengah Sejengah-Jengahnya



Hari itu saya bersama Jaka memutuskan pulang ke Bekasi. Jaka ingin memberikan titipan yang dipesan oleh kedua orang tuanya. Jumat (31/3), kami berdua pergi ke kampus Jaka untuk mengambil titipan kedua orang tua Jaka, dan kami baru bisa mendapatkannya pada pukul 15.00, langsung dari sana Jaka dan saya kembali ke kosan dan mengambil segala hal yang kami akan bawa ke Bekasi. Terdengar kabar dari beberapa orang kawan kalau jalan Tol ditutup oleh para demonstran yang menuntut harga BBM agar tidak naik, tetapi Jaka tidak terlalu perduli dengan ancaman seperti itu, dia justru bersemangat, "Biar aja macet, biar sekalian liputan ntar kita Tor" katanya sambil melihat beberapa media online untuk memastikan apakah benar terjadi demonstrasi  sampai memutus ketertiban jalan Tol. "Kayaknya nggak tor, yang gue lihat, justru Tol Dalam Kota aja yang di putus sama para demonstran" beritahunya kepada saya yang saat itu sedang memasukkan beberapa pakaian kedalam tas saya. Tidak lama setelah itu kami sudah siap, dan saat ingn berangkat turunlah hujan deras, langkah kami pun terhenti dapa sebuah pembicaraan, "Jak, temen gue kemaren ketangkep pas ada demonstrasi di Jakarta, gue nggak terlalu tau kronologisnya, makanya gue semanget banget pulang dan ingin sekali berbicara dengannya tentang kondisi yang cukup mengkhawatirkan ini" Ucap Jaka mengawali pembicaraan. "Hm.. begitu rupanya, memang apa yang ingin kau bicarakan kepadanya Jak, apa kau akan berdebat dengannya, bukankah kau tidak terlalu menyukai hal yang berbau demonstrasi?" tanyaku kepada Jaka. "Bukan Tor, gue nggak akan debat dengan teman saya itu, dan bukan demonstrasinya yang saya tidak suka dari kondisi saat ini Tor, tetapi cara berdemonya, semakin lama para demonstran itu seperti dirasuki oleh sebuah pemikiran yang diluar dugaan gue, mereka merusak Tor, dan mengganggu ketertiban, menurut gue itu bukan cara yang cerdas" kata Jaka meyakinkan saya tentang pendapatnya. "Yo berangkat ujannya udah agak reda" Ajak Jaka kepada saya dengan gerak-gerik seperti tidak sabar untuk pulang hari itu.



Kami melangkah kedepan gang Ciseke, gang yang hanya cukup dilewati oleh sebuah mobil itu, tetapi justru masih banyak para pengunjung atau penguni yang memaksakan banyak mobil untuk masuk kedalam gang itu. Setengah perjalanan, kembali turun hujan deras yang membuat kami berlari sampai depan gang dan langsung naik kedalam angkutan kota yang kebetulan ada di depan gang Ciseke. Sepanjang perjalanan saya memperhatikan Jaka hanya terdiam dan tidak terlalu bicara banyak, dia memasang headset dan hanya berbicara seperlunya, seperti meminta mengumpulkan uang ongkos dan menanyakan jam berapa. Sesampainya di Cileunyi yang dipadati oleh bus dan angkutan kota yang nge-time disana Jaka langsung berlari kedalam Bus yang jurusan Tasik-Jakarta. Bus sudah terisi penuh dan memuat kami berdua duduk ditempat terpisah, Jaka duduk dibelakang saya dan saya lihat dia hanya memejamkan mata sambil mendengarkan musik, saya merasa dia tidak tertidur, dia sedang berpikir dan mengumpulkan bahan untu dibicarakan disaat dia bertemu dengan orang-orang yang sangat dirindukannya di Bekasi nanti. Kami terpisah di bawah jembatan penyebrangan Tol Timur, Jaka selalu turun disana, dia selalu naik bus jurusan Jakarta agar lebih cepat sampai, karena dia tidak diantarkan sampai terminal bekasi, makanya dia selalu turun di pinggir tol yang kebetulan lebih menghemat pengeluarannya karena lebih dekat dari rumahnya.

Tiga hari dua malam saya dan Jaka tidak bertemu saat dikota asal, Jaka memang orang yang demikian, dia kurang memperhatikan teman rantaunya saat berada dikota asal, kecuali jika memang dia tidak ada hal yang menarik dan membuatnya sibuk di rumah. Malam Sabtu datang SMS dari Jaka, "Lo liat Tv Tor, nanti nonton sidang, ntar waktu di nangor gue mau cerita sesuatu sama lo" katanya dalam pesan pendek. Kalo saya memang tidak ada kerjaan saat dirumah, kalau sedang tidak ada kerjaan seperti ini ya kerjaan saya hanya menonton berita di TV, kalau Jaka saya rasa tidak demikian, dia hanya memperhatikan berita dari media online dan cetak, menurut Jaka, dia tidak merasa apa yang diberitakan televisi itu berimbang, ya sudahlah kalau memang dia berpendapat seperti itu, saya tetap menghargai rasa kritisnya itu.

Tiga hari dua malam sudah berlalu, saya berkumpul lagi dengan Jaka. Dia langsung memberikan sebuah tanggapan terhadap apa yang terjadi beberapa hari yang lalu.

"Kalo lo liat televisi Tor, apa yang lo rasakan? kalo gue jelas ngerasa malu, jengah, muak dan nggak tau mau bilang apa. Kita liha apa yang terjadi di Jakarta, sebegitu egoisnyakah mahasiswa dengan gegabah memotong jalut tol dan merugikan negaranya sendiri? merusak fasilitas dan menyiramkam cairan asam yang membahayakan berbagai pihak? menurut lo apakah yang melakukan hal itu adalah mahasiswa Tor? menurut gue belom tentu mereka, mahasiswa adalah orang terpelajar dan tau bagaimana harus bersikap sebagai orang yang terpelajar itu. Merusak fasilitas umum juga akan merugikan negara, kata para demonstran yang mengaku berasal dari partai dan kampus-kampus besar yang terhormat dan merasa paling sempurna itu mereka tidak mau negara kita boros dengan berbagai pengeluaran yang tidak jelas, tetapi mereka seolah membuat pemerintah membenahi segala kerusakan dan melakukan pengeluaran yang ujung-ujungnya bakal nggak jelas juga. Yah apaan yang kayak gitu gue rasa sama aja bohong, berteriak mengumpat dan mencaci sampai merusak dan membahayakan nyawa sesama, apa mereka punya solusi? mereka bisa saja beralasan merusak dan melakukan apapun yang gue bilang tadi gara-gara sudah jengah dengan para kau kerah putih tidak lagi mendengarkan suara rakyatnya" tanggapi Jaka pada pembuka pembicaranya.

"Belum lagi para tetua-tetua yang pada ribut di sidang paripurna, selalu saja begitu, mereka berselisih untuk membela kepentingannya masing-masing, berlagak seolah peduli pada rakyat, padahal mereka hanya memasang topeng dan melakukan drama-drama yang maksudnya agar mereka menang pemilu yang akan dilaksanakan 2014 mendatang, cih, mereka bertingkah layaknya dikelas taman kanak-kanak, perkataan mereka sungguh tidak pantas, mereka seperti badut-badut pesta yang kerjanya hanya ngejayus dan mempertontonkan ketoprak yang membuat penonton malu sendiri melhatnya, mereka berjoged dan bernyanyi serta saling menjatuhkan, padahal rapat ini menentukan nasib masyarakat, dan apa ujung-ujungnya, keputusannya hanyalah permainan kata-kata yang mengecoh mereka, rakyat yang belum paham dengan arti dari apa yang mereka ributkan diaats sana, kawan-kawan mahasiswa yang berharap pemimpinnya adalah mereka yang bijak dan dewasa sangat geram dan melakukan protes sampai tidak bisa menahan diri, ada yang mengatakan, "Badut-badut diatas sana berhasil melakukan april fools yang sangat hebat" ya itu juga yang terpikir dikepala gue tanggal satu April kemaren Tor" tambahnya.




Politik itu adalah seni berebut kekuasaan, mereka melakukan itu demi untuk kekuasaan dan kepentingan, dan apa yanga ada di dalam para demonstran, bukan pada hati para demonstran tapi sekelompok orang dalam demonstran adalah mereka yang dibayar untuk melakukan tindakan anarkis, mereka berani bila sampai membunuh orang hanya demi uang berjumlah dua ratus ribu rupiah, ya merekalah, orang yang tidak mengerti, orang yang dibutakan uang yang dijadikan anjing peliharaan para badut besar provokator yang berada aman di belakang mereka, duduk diatas bangku yang mahal dan empuk, sambil tertawa lebar atas rakyat ang masih bisa dibodoh-bodohi dan dikambing hitamkan olehnya.




Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda